Ilustrasi hukum. (Freepik)
INDOZONE.ID - DPR RI tengah melakukan revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk memperkuat sistem peradilan pidana nasional. Melalui Komisi III, DPR RI menargetkan penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP ini pada akhir tahun 2025.
KUHAP merupakan pondasi utama dalam mengatur jalannya proses peradilanpidana di Indonesia. Mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, hingga proses persidangan.
Sementara itu, revisi KUHAP dinilai penting untuk mengatasi berbagai persoalan dalam praktik penyidikan dan penegakan hukum. Selain juga mendorong terciptanya sistem hukum yang lebih adil, transparan, dan akuntabel.
Dari kalangan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH) pun turut mendorong revisi KUHAP. Banyak pemaparan langsung lewat Seminar Hukum Nasional bertema "Reformasi Hukum Acara Penyidikan" di UPH Kampus Lippo Village, Tangerang.
Seminar ini juga bertujuan untuk mengevaluasi apakah tugas Kepolisian dan Kejaksaan sudah sesuai dengan prinsip negara hukum, serta memberikan rekomendasi untuk memperkuat sistem peradilan pidana di Indonesia.
Seminar Hukum Nasional bertema
Dalam paparannya berjudul ‘Urgensi Memperkuat Pengawasan dan Akuntabilitas Penyidikan dalam Revisi KUHAP’, H (Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Arif Maulana, membahas pentingnya penguatan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam proses penyidikan.
Data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat 46 kasus kekerasan dan penyiksaan dalam proses penyidikan oleh aparat penegak hukum sepanjang 2022 hingga 2024, dengan total 294 korban. Beberapa di antaranya bahkan dilaporkan meninggal dunia.
“Kita butuh KUHAP baru yang sungguh-sungguh menjamin proses peradilan yang jujur, adil, dan menghormati hak asasi manusia,” ucapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara kewenangan aparat penegak hukum dalam proses penyidikan dengan perlindungan hak-hak dasar semua pihak yang terlibat, termasuk tersangka, terdakwa, korban, dan saksi. Karena itu, perlu revisi KUHAP yang benar-benar berpihak pada keadilan, bukan sekadar memperkuat kekuasaan negara atas rakyat.
Akademisi Universitas Brawijaya Dr. Fachrizal Afandi, S.Psi., S.H., M.H., Ph.D turut hadir sebagai pembicara. Ia menekankan bahwa penerapan hukum pidana harus tetap menghormati martabat manusia.
"Penerapan upaya paksa, seperti penahanan, harus dilakukan secara proporsional dan bertujuan untuk memastikan kehadiran terdakwa di persidangan, bukan sebagai penghukuman sebelum adanya putusan pengadilan," tambahnya.
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H juga mengisi paparannya bertajuk ‘Restorative Justice dan Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan: Filosofi, Syarat, dan Konteksnya’. Dalam kesempatan itu, ia membahas konsep keadilan restoratif.
Menurutnya, keadilan restoratif adalah cara untuk menyelesaikan masalah dengan melibatkan pelaku, korban, dan keluarga dari kedua belah pihak. Tujuannya adalah untuk mencarisolusi bersama, bukan hanya mengandalkan negara atau aparat penegak hukum.
“Salah satu tujuan utama dari keadilan restoratif adalah memperbaiki kerugian yang dialami korban, sekaligus memberikan kesempatan bagi pelaku untuk menunjukkan penyesalannya. Dalam proses ini, pelaku tidak hanya memberikan ganti rugi kepada korban, tetapi juga melalui pemulihan psikologis, sehingga mereka bisa kembali ke masyarakat dengan lebih baik,” terangnya.
Dosen Fakultas Hukum UPH Prof. Dr. Jamin Ginting, S.H., M.H., M.Kn menyoroti pentingnya pemisahan fungsi yang lebih jelas antara penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan. Di banyak negara, penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan memiliki tugas yang terpisah.
“Jaksa bertugas untuk melakukan penuntutan, sementara polisi memiliki peran dalam mengumpulkan bukti. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, terdapat beberapa tantangan terkait pemisahan tugas antara kedua lembaga ini,” tuturnya.
Jaksa sebagai penuntut umum sebaiknya fokus pada tugas penuntutan, sementara fungsi penyidikan dapat diserahkan kepada Kepolisian dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
"Dalam beberapa kasus, kurangnya koordinasi yang efektif antara jaksa dan penyidik kepolisian dapat menghambatkelancaran penyidikan dan berujung pada ketidakpastian hukum,” ujar Prof. Ginting.
Prof. Ginting juga menyarankan agar sistem hukum memberikan wewenang kepada hakim untuk melakukan pemeriksaan awal sebelum melanjutkan proses hukum.
Langkah ini penting untuk memastikan bahwa bukti yang tersedia cukup untuk mendasari keputusan penahanan.
Ia juga menekankan pentingnya pengawasan yang baik dalam setiap tahap proses hukum. Guna menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Liputan Langsung